Merah dan Biru

Gusti Aditya
3 min readSep 18, 2022

--

Selamat malam, Nak. Atau pagi, ya? Atau mungkin kau membaca ini saat kau lelah melewati dunia. atau kau sedang menangis terisak di kamar dan tak berani bercerita apa-apa pada siapa-siapa. Atau, barangkali, ketika kau mendapat nilai buruk di salah satu mata pelajaran. Atau di saat apa saja. Yang jelas, Nak, dalam alinea pertama ini, bahkan kami sudah menyayangimu walau kita belum pernah beradu tatap.

Ya, Nak, ketika tulisan ini dibuat, kita belum pernah bersua. Bahkan, kami masih berangan-angan tentangmu. Dipeluk doa, dibuai harapan, disempurnakan tujuan. Namun, Nak, suatu hari nanti, kami akan menatap matamu di saat apa pun itu. Ketika kau pertama kali menyapa dunia, naik kelas tiga, lulus SMA, membawa pacar pertama ke rumah, membawa anak yang lucu dan manja, dan seterusnya, dan seterusnya. Kami berjanji atas hal ini, bahkan di hari pertama kala kami memutuskan untuk hidup bersama.

Nak, mungkin dunia tak pernah selalu baik. Pertemuan dengan orang yang salah barangkali akan terjadi. Tangismu yang semula berhulu mencari puting susu, mungkin akan berubah menjadi kehidupan lah sebab musababnya tangis itu. Itu tak bisa dihindari, Nak. Namun, Nak, ketahuilah, kami ada di sini. Di meja makan, di teras rumah, atau di ruang menonton televisi jika kau ingin menonton tayangan favoritmu.

Yang jelas, ceritamu tak pernah kami remehkan. Ceritamu hari ini, layaknya dedongengan Disney yang sejuk untuk disimak hingga tuntas. Mainanmu direbut teman, hasil ulangan, takut pelajaran matematika, cinta pertama, atau apa saja. Kami akan dengarkan semua itu. Mata kami akan terus hangat untukmu, dekap kami akan selalu ada ketika dingin menyerangmu. Ini memang dunia tipu-tipu, namun jangan ragu untuk bertumpu.

Jika orang lain berkata buah hati, maka kau lebih dari itu, Nak. Kau inti kehidupanku kelak. Kau adalah oase di tengah gerah dan kecamuk terik dunia. Kau pemecah badai bagi kami, kau adalah pelita ketika gelap, kau adalah mercusuar di bibir pantai sedang kami adalah kapal di lepas lautan yang sedang mencari dermaga. Kau arah utara kala kami kalang kabut mencari azimuth.

Berlebihan? Tidak, Nak. Bahkan, jika ada analogi yang lebih tepat untuk menggambarkan rasa sayang kami kepadamu, kami akan pakai itu. Menganalogikan besar matahari, tapi, Nak, mohon maaf, cinta kami kepadamu lebih besar dari itu. bahkan dari jagad raya sekali pun.

Dunia ini diciptakan sebagai tempatmu tertawa, Nak. Walau ozon di bumi sudah menipis, orang-orang tolol berlipat ganda, namun kami berdua bisa mendamaikan hatimu agartetap bersuka cita riang gembira. Kita dengarkan musik kesukaan, bermain di halaman rumah. Kita sapa semua kucing di seluruh dunia ini walau tentu saja Mamamu akan bergidig ngeri. Namun tak apa, Mamamu akan lawan rasa takut itu hanya untukmu, Nak.

Iya, kan, Ma? “Iya,” katanya.

Ketika kau tidur, aku ingin mengecup keningmu. Kening itu bukan “Meling” namun tentu saja ciuman ini mendarat dengan ikhlas dan kasih sayang yang selenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo selama-lamanya. Matamu yang mengatup, mimpi yang mengembara ke sepenjuru dunia, kami akan menunggu kau kembali menyapa dunia. Tentu aku akan menggendongmu dan berlarian di sepenjuru rumah, sedang Mamamu berlari mengikuti kita. Tak apa, Nak, tak apa. Mungkin ini terdengar seperti lelucon bagi orang lain karena kau saja belum lahir ke dunia. Namun, rasanya, entah mengapa rasanya kau begitu dekat dan tanpa bisa aku jelaskan.

Nak, sehat-sehat di sana, ya. Kami, di sini, sedang mengupayakan segalanya yang baik. Segalanya yang bisa menjadikan kau hadir di sini. Mungkin tidak melulu mulus, ada beberapa halangan yang silih berganti hadir, namun kami bisa lalui, kok, Nak. Kami sudah berjanji untuk menjadikan kau ada, mewujud, dan dapat diraih lantas dipeluk. Tunggu, ya, Nak. Kami tak kan ke mana-mana. Kami tidak akan berubah — lebih rincinya, rasa cintaku kepada Mamamu, akan selalu seperti ini. Satu juta tahun lagi akan selalu seperti ini.

--

--

Gusti Aditya
Gusti Aditya

No responses yet